Monday, January 09, 2006

008.Sudut Tafakkur Idhul Adha

Masih segar dalam ingatan kita suara takbir, tasbih, tahmid, dan tahlil yang bergema dipermukaan bulan Syawal yang lalu.
Gema takbir yang sangat menggetarkan hati para penutur dan pendengarnya, menunjukkan kebesaran dan keagungan Allah swt.

Seluruh umat Islam di dunia menyambut serta merayakan hari Raya Idul Fitri dengan suasana hati yang dipenuhi kegembiraan dan rasa syukur kepada Allah swt.

Namun, setelah dua bulan berlalu, Allah swt. kembali memperkenankan kita untuk bertemu dengan bulan Dzulhijjah sebagai sarana-memiliki nilai konstitusional yang ekuivalen dengan bulan Syawal-untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.

Petikan hikmah dan pelajaran dari bulan Dzulhijjah dapat dirasakan oleh setiap kaum muslimin.
Sedikitnya, ada dua referensi-historis yang menjelaskan hikmah bulan ini, yaitu sebagai berikut:
Ketaqwaan seorang hamba (nabi) Allah.
Ketika Nabi Ibrahim as menerima titah Allah SWT (Ash Shaffat 102) untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail as, beliau mematuhi perintah-Nya sebagai bukti ketaqwaan Nabi Ibrahim as.
Keikhlasan, kepatuhan dan kesabaran seorang anak kepada Allah SWT dan ayahnya.
Mendengar sabda ayahanda (Nabi Ibrahim as), Nabi Ismail menjawab,"Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar" (Ash Shaffat 102).
Jawaban Nabi Ismail as-pada saat itu, ia masih berusia muda-tersebut, menunjukkan pada kita tentang keikhlasan, kepatuhan, dan kesabaran terhadap perintah (ujian) Allah swt.
Ujian yang berat kepada Nabi Ibrahim as dan Ismail kecil telah direkam dalam literatur Islam dan hati sanubari umatnya sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan sebagai muslim secara kaffah.

Perintah Allah swt. kepada Nabi Ibrahim as. untuk menyembelih anak kesayangannya merupakan suatu bentuk ujian yang benar-benar membuat beliau galau.
Akan tetapi, berkat keimanan dan didorong oleh anaknya sendiri-juga atas dasar keimanan Nabi Ismail sendiri, beliau melaksanakan perintah itu.
Selain itu, keimanan dan ketaqwaan Nabi Ibrahim as serta kesabaran Ismail kecil dapat menjadi data komparatif bagi kaum muslimin untuk melakukan rekonstruksi hubungan manusia dengan Allah (hablumminallaah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablumminannaas).

Berkaitan dengan konteks hablumminannas yang dituntun oleh Islam, makna ekstensif yang terkandung dalam Hari Raya Idul Adha adalah membangkitkan kesadaran umat Islam tentang pesan rasa kebersamaan dan kesatuan umat-sebagai wujud lain dari ketaqwaan.

Rasa kebersamaan umat itu tercermin melalui penyaluran daging kurban pada golongan yang berhak secara benar dan proporsional, sedangkan kesatuan umat timbul sebagai implikasi rasa kebersamaan yang telah terwujud sebelumnya.
Oleh karena itu, individu muslim yang mengemban kewajiban untuk mengabdi dan memberdayakan masyarakat Islam secara optimal, diharapkan mampu untuk melahirkan rasa kebersamaan dan kesatuan umat tersebut pada kesempatan Idul Adha ini.
Yakinlah, setiap tetes darah kurban yang diniatkan karena Allah ta'aala, sudah pasti akan mendapat balasan yang besar dari-Nya.

Seekor kambing, domba, atau sapi bukanlah ukuran dari ketaqwaan seorang hamba, melainkan niat dan ketulusan yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim dan anaknya adalah tujuan esensial dari berkurban.

Harapannya adalah gema takbir, tahmid, dan tahlil di malam 10 Dzulhijjah ini akan diiringi dengan aktualisasi kehidupan beragama masyarakat Islam menuju ketaqwaan yang hakiki.

No comments: