Tuesday, October 18, 2005

Gede Prama: Matahari Dalam Diri

Hidup penuh dengan jejak kaki.
Demikian sejarah pernah bertutur pada manusia.
Sayangnya, logika dan kata-kata manusia tidak dan tidak akan pernah bisa memotret jejak-jejak kaki tadi sebagaimana adanya.
Logika dan kata-kata, di satu sisi memang jembatannya pemahaman, di lain sisi ia juga suka memperkosa.
Karena pemerkosaan jenis terakhir inilah, kemudian pengetahuan manusia manapun jadi tidak sempurna.

Di tangan manusia-manusia yang digiring kepintaran, ketidaksempurnaan terakhir kemudian menjadi bahan wacana.
Ada juga yang membuatnya sebagai sarana tawar menawar kepentingan, alat untuk melakukan penyerangan, bahan-bahan untuk memamerkan kehebatan.
Ada yang bertanya, tidakkah ini hanya bunga-bunga kehidupan yang membuat semuanya jadi kaya warna?

Di tangan manusia-manusia bijaksana nasib ketidaksempurnaan pengetahuan manusia lain lagi. Bagi mereka, ketidaksempurnaan ada untuk mengajarkan kesempurnaan pada manusia.
Ada juga yang menyebutkan, kalau hidup ditujukan justru untuk melengkapi sisi-sisi pemahaman yang belum sempurna. Bagi pejalan-pejalan kaki di jalan jiwa lain lagi. Ketidaksempurnaan ada untuk menjadi lahan-lahan latihan jiwa.

Bukankah setelah tertabrak berbagai karang kehidupan, jatuh dalam banyak jurang kehidupan, kemudian jiwa bisa pulang dengan tenang?
Ah entahlah, pejalan-pejalan kaki di jalan kejernihan memang hanya boleh bertanya.
Jawaban memang senantiasa diserahkan kepada mereka yang mendengar ketika pertanyaan dilontarkan.
Tidak semua suka tentu saja.
Dan itupun tidak apa-apa.
Yang jelas, apapun pertanyaannya, apapun jawabannya, siapapun yang bertanya, siapapun yang menjawab, ada sebuah gejala yang terus menerus berjalan : waktu!

Seperti jarum jam di dinding, berjalan, berjalan dan berjalan.
Kadang ia berhenti karena baterrynya mati, cuman waktu yang ia wakili tidak membutuhkan battery dan tenaga manapun.
Ia adalah tenaga itu sendiri, ia adalah gerakan itu sendiri, ia adalah hidup itu sendiri.
Sebagai manusia biasa, kita kerap baru tersadar, kadang malah terkejut, ketika melihat putera-puteri di rumah sudah besar.
Tatkala merasakan badan tidak lagi sekuat dulu.
Mana kala melihat orang-orang yang lebih muda dipanggil yang kuasa.
Logika dan kata-kata manusiapun memberikan judul : tua.

Dan judul terakhirpun tidak sama pemahamannya.
Ada yang mengkaitkannya dengan badan yang berbau tanah.
Ada yang menyebutnya dengan masa-masa panen dalam hidup.
Ada juga yang meletakkannya sebagai waktu membalas dendam perhatian ke anak cucu